CNBC Lampung

Loading

Kasus Pelecehan Seksual dalam Perspektif Hukum: Apa Kata Para Ahli?

Isu pelecehan seksual terus menjadi perhatian serius dalam masyarakat, dan penanganannya dari perspektif hukum menjadi krusial. Berbagai kasus yang mencuat menyoroti kompleksitas permasalahan ini dan perlunya pemahaman yang mendalam tentang bagaimana hukum seharusnya merespons. Lantas, apa kata para ahli mengenai penanganan kasus pelecehan seksual dalam kerangka hukum?

Menurut ahli hukum pidana, Prof. Dr. Eva Achjani Zulfa, perlindungan korban merupakan fokus utama dalam penanganan kasus pelecehan seksual. Beliau menekankan bahwa hukum tidak hanya harus memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku, tetapi juga memastikan adanya mekanisme pemulihan yang komprehensif bagi korban. “Proses peradilan harus sensitif terhadap kebutuhan korban, menghindari reviktimisasi, dan memberikan dukungan psikologis serta sosial yang memadai,” ujarnya dalam sebuah diskusi daring.

Senada dengan itu, Dr. Hamid Chalid, seorang ahli hukum tata negara, menyoroti pentingnya harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait pelecehan seksual. Beliau berpendapat bahwa seringkali terdapat tumpang tindih atau kekosongan hukum yang menghambat penegakan hukum yang efektif. “Perlu adanya sinkronisasi antara KUHP, UU TPKS, dan peraturan perundang-undangan lainnya agar tidak ada celah bagi pelaku untuk lolos dari jerat hukum, dan hak-hak korban dapat terlindungi secara optimal,” jelasnya dalam sebuah seminar nasional.

Dari perspektif viktimologi, Dr. Sulistyowati Irianto, seorang ahli di bidang ini, menekankan bahwa hukum harus mampu menjangkau berbagai bentuk pelecehan seksual, termasuk yang terjadi di ranah daring (cyber harassment) dan relasi kuasa. Beliau mengkritisi definisi pelecehan seksual yang terkadang masih sempit dan belum mengakomodasi pengalaman korban secara utuh. “Pendekatan hukum harus berpusat pada pengalaman korban, mengakui dampak psikologis yang mendalam, dan tidak menyalahkan korban atas apa yang terjadi padanya,” tegasnya dalam sebuah wawancara.

Para ahli juga sepakat bahwa penegakan hukum dalam kasus pelecehan seksual memerlukan aparat penegak hukum yang memiliki pemahaman dan sensitivitas gender yang baik. Pelatihan khusus bagi polisi, jaksa, dan hakim menjadi krusial untuk memastikan proses peradilan berjalan dengan adil dan berpihak pada korban. Selain itu, peran saksi dan alat bukti dalam kasus pelecehan seksual seringkali menjadi tantangan tersendiri, sehingga hukum perlu mengakomodasi berbagai jenis bukti, termasuk keterangan ahli dan bukti elektronik.

Hebat! Polisi Bongkar Jaringan TPPO Bermodus PMI Ilegal ke Malaysia

Kepolisian Republik Indonesia kembali menunjukkan keseriusannya dalam memberantas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Kali ini, polisi bongkar sebuah jaringan besar yang menjalankan praktik pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara ilegal ke Malaysia. Operasi penggerebekan yang dilakukan oleh tim gabungan dari Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya berhasil mengamankan sejumlah tersangka dan puluhan calon PMI yang hendak diberangkatkan secara non-prosedural. Pengungkapan kasus polisi bongkar jaringan TPPO ini dilakukan pada hari Rabu, 30 April 2025, di sebuah penampungan ilegal di kawasan Jakarta Timur.

Menurut Brigjen Polisi Wahyu Widada, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, pengungkapan kasus polisi bongkar jaringan TPPO ini berawal dari adanya laporan masyarakat mengenai aktivitas mencurigakan di sebuah rumah yang diduga kuat dijadikan tempat penampungan calon PMI ilegal. Setelah melakukan penyelidikan mendalam selama beberapa waktu, tim gabungan akhirnya melakukan penggerebekan dan berhasil mengamankan enam orang tersangka yang berperan sebagai perekrut, pengurus dokumen palsu, dan pihak yang bertanggung jawab dalam memberangkatkan para korban. Selain itu, polisi bongkar juga menemukan sebanyak 35 calon PMI yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

“Kami sangat prihatin dengan masih adanya praktik TPPO dengan modus pengiriman PMI ilegal ini. Para pelaku ini sangat terorganisir dan memanfaatkan keinginan masyarakat untuk bekerja di luar negeri demi keuntungan pribadi,” ujar Brigjen Polisi Wahyu Widada dalam konferensi pers yang digelar di Mabes Polri pada Kamis siang, 1 Mei 2025. “Dalam operasi ini, kami berhasil mengamankan sejumlah barang bukti berupa paspor palsu, tiket pesawat, dokumen perjanjian kerja ilegal, serta uang tunai yang diduga hasil dari praktik polisi bongkar jaringan TPPO ini.”

Lebih lanjut, Brigjen Polisi Wahyu Widada menjelaskan bahwa modus operandi jaringan ini adalah dengan merekrut calon PMI dari daerah-daerah dengan iming-iming gaji besar dan proses keberangkatan yang mudah. Namun, setibanya di Malaysia, para PMI ilegal ini seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan perjanjian, seperti jam kerja yang berlebihan, gaji yang tidak dibayar, hingga tindakan kekerasan. Pihak kepolisian akan terus mengembangkan kasus ini untuk mengungkap kemungkinan adanya jaringan lain yang terlibat, baik di dalam maupun di luar negeri.

Para tersangka yang berhasil diamankan akan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Sementara itu, para calon PMI yang berhasil diselamatkan akan mendapatkan pendampingan dan dipulangkan ke daerah asal masing-masing melalui koordinasi dengan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Keberhasilan polisi bongkar jaringan TPPO ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku lainnya dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya bekerja di luar negeri secara ilegal.